Juli 22, 2009

"PUNK in LOVE"

Salah satu film Indonesia yang bikin gw terkesan dan merasa gak sia-sia untuk merogoh kocek senilai 20 ribu untuk sekedar menghabiskan waktu menyaksikan tiap adegan di dalamnya adalah "Punk in Love". Kayaknya film Indonesia mulai sedikit bermutu deh akhir-akhir ini. Setelah "King" yang berhasil bikin gw akhirnya memahami arti sebuah perjuangan hidup, sekarang giliran "Punk in Love" yang berhasil mengubah pola pikir gw terhadap apa-apa yang ada di depan mata gw. Terdengar berlebihan mungkin, tapi emang ini benar-benar terjadi, saudara-saudara! hehehehe....
Nonton film ini, bikin gw kangen kampung halaman gw di jawa timur; surabaya, malang, blitar. Pasalnya, ni film ngambil setting di 3 kota itu. Film ini cukup menguras emosi gw.
Lucunya yang gak tanggung-tanggung bikin otot-otot gw kendor karena ketawa dan ada bumbu sedih-sedihnya yang hampir aja ngebuat gw nangis bombay (agak lebay sih kalo yang ini)hehehehe...

Dari film ini, gw cukup dapet banyak pengetahuan seputar kehidupan para Punkers. Selama ini paradigma gw terhadap komunitas ini cukup negatif a.k.a gak baek. Yah, mungkin karena penampilan mereka yang terkesan 'menyeramkan' dan 'unik' alias berbeda dari manusia pada umumnya, hehehehe....
Tiba-tiba saja teringat quote "Dont judge the book from its cover".
Awalnya, gw gak pernah bisa menerima statement itu, tapi setelah melihat, mendengar, mempelajarai dan mencari tau tentang kehidupan kaum-kaum yang dianggap 'berbeda' itu, tiba-tiba saja statement itu bikin gw berpikir ulang dan mendadak membenarkannya...
Hmm, meskipun dalam realita, sebagian besar orang tetap menjadikan kesan pertama (dalam hal ini penampilan) sebagai tolak ukur baik atau tidaknya kepribadian seseorang. Mereka cenderung tidak mau tau latar belakang kenapa orang-orang itu 'berbeda'. Dan buat gw, itu sangat wajar dan manusiawi, tapi mungkin disisi lain, hal ini terkesan tidak adil.

Punkers itu identik dengan dandanan yang nyentrik, berantakan, rambut jigrak dengan warna-warna ngeJRENG, tindikan disana-sini, boots, rokok, minuman keras and everything which indicates 'REBEL'.
Dari yang udah gw pelajarin selama kuliah, ternyata komunitas kayak gini ni exist bukan tanpa alasan. It's all because they have the same ideology toward the way of life and the purpose of life in this case is to satire over the government or the high-class people, and they are anti racism and facism.
Sebenernya, awal kemunculan kelompok Punk itu berasal dari imigran jamaica yang menetap di Inggris. Mereka yang tergabung dalam PUNK adalah orang-orang yang berasal dari golongan pekerja, atau kelas menengah kebawah. Mereka terbiasa hidup bebas tanpa aturan, tanpa rencana, tapi bukan berarti tanpa ambisi. Sebagian besar dari mereka bisa dikategorikan sebagai seniman jalanan, karena mereka mengais rezeki bukan tanpa bermodalkan apa-apa. They live their life by their own ways by creating songs within instruments. Lagu-lagu yang mereka ciptakan juga bukan lagu-lagu cengeng, tapi lebih ke arah keras, dan bukan lagu cinta, tapi lebih ke sebuah realita. Ini uniknya! Dan lagi, hasil karya mereka telah meramaikan daftar aliran musik dunia, yaitu "PUNK". Just for information, Garry Bushel-lah yang berperan besar untuk mempromosikan aliran musik mereka.

Yang gw suka dari komunitas ini (setelah gw nonton film Punk in Love) adalah kesetiakawanan yang luaaar biasaa.
Ibaratnya, "Lu mati, gw juga mati!". Ini yang gak pernah bisa gw temuin dalam kehidupan manusia-manusia normal seperti gw, lu, dan kalian karena hidup dalam sebuah kenormalan itu sama saja dengan hidup dengan keegoisan. Hmm...mungkin??
Boleh dibuktiin deh kalo jaman sekarang ini kita hidup dalam sebuah paradigma bahwa "semua orang tu gak bisa dipercaya" or "Jangan terlalu mudah percaya dengan orang". Sehingga wajar kalo hidup jadi gak aman, penuh kecurigaan yang sebenernya belom tentu terbukti kebenarannya, semua berpola kompetitif yang gak realistis, kompetitif yang idealis, kompetitif yang borjuis, singkat kata kompetitif yang saling menjatuhkan. Dari sinilah, sebuah kata "kesetiakawanan" atau "persahabatan" menjadi sangat langka dalam kehidupan kita. Hasilnya adalah individualis yang mengarah ke egois matrealis. Keadaan yang seperti itulah yang sangat ditentang oleh kelompok yang menamai diri mereka "Punkers". Sehingga wajar kalau mereka hidup tanpa sebuah idealisme, namun sangat menjunjung tinggi asas kesetiakawanan antar-kelompok. Salah satu scene di film ini yang ada kaitannya dengan kesetiakawanan adalah begitu setianya ketiga temen arok (vino g bastian) nemenin arok ke jakarta hanya untuk mengatakan cinta ke cewe yang dulu sempet satu geng sama mereka. Bukan nemeninnya yang bikin gw menganggap mereka setia kawan, tapi apa yang udah mereka lalui dan perjuangkan selama perjalanan ke jakarta. Meskipun sempet ribut, tapi gak terpikir dalam diri mereka untuk saling meninggalkan. Scene lainnya adalah waktu si arok dan ketiga temennya dikepung sama gangster dan gak bisa berbuat apa-apa karena jumlah mereka gak sebanding dengan para gangster itu. Alhasil, mereka teriak "Oi-Oi-Oi" sekenceng-kencengnya, yang setelah itu, hanya dalam hitungan detik sekelompok punkers yang ada di sekitar mereka langsung dateng dengan jumlah lebih banyak 10 kali lipat dari para gangster itu. Nah, ada filosofinya ni, ada apa dengan kata "Oi"? Jadi, 'Oi' adalah sebuah kata yang biasa digunain sesama Punkers untuk menyapa satu sama lain, dan bisa dibilang udah jadi ciri khas mereka. Oleh sebab itu, di Inggris pernah ada musik ber-genre 'Oi!'. Pernah denger? Kalo belum, gw kasih infonya ni, jadi 'Oi' itu perpaduan antara street punk dengan british rock. Seperti apakah street punk itu? Kalo lu kenal The Ramones dan The Clash, merekalah yang beraliran street punk. Sedangkan british rock, The Rolling Stones dan The Who. Nah, perpaduan kedua aliran tadi akhirnya terbentuklah genre 'Oi'. Untuk genre ini, contoh bandnya banyak ada the opressed, the 4-skins, etc. Kalo yang gw tau dan udah pernah denger lagunya cuma 1, anti-flag. Oia, kebanyakan musik punk di Indonesia tu kiblatnya ke the opressed.

Talking about how Punkers live, gw jadi inget kutipan liriknya savage garden,
"I want to live like animal, careless and free, like animal"

Keunikan lainnya dari film ini adalah tag-line'nya, "Rambut boleh jigrak, tapi hati tetep dangdut" (kalo gak salah inget kayak gini, tapi mudah-mudahan gak salah-agak lupa)hehehe...
Mungkin sekilas tag-line itu bermakna 'konyol', tapi kalo gw pribadi memaknai tag-line ini bukan sebagai sebuah kekonyolan, ada sesuatu yang mesti masyarakat tau kalo ternyata dibalik ke-GARANG-an seorang PUNKERS, menyimpan sisi melankolisnya juga. (Cihuuuuy!)
Mereka juga ingin diakui keberadaannya layaknya kita-kita. Hmm, mungkin kata 'diakui' terlalu berat, tapi paling enggak mereka diperlakukan sama.
Salah satu scene dalam "Punk in Love"-lah yang kemudian membuat gw berkesimpulan seperti itu. Ketika salah satu anggota kelompok mereka terluka dan butuh pertolongan darurat, sebuah klinik tanpa basa-basi lagi langsung nolak mereka gitu aja, padahal mereka udah nunjukkin uang sebagai bukti bahwa mereka bakalan bayar. Kenapa ditolak? (again) karena Penampilan mereka dan mungkin identitas mereka yang udah terlanjur jelek dimata masyarakat and (again) it's all about the money, baby!
Ini ni yang bikin gw gerah dengan pola pikir yang mengedepankan matrealistis daripada kemanusiaan.

Kalo kata Serius, "Rocker juga Manusia! Punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati" (Yahuuuut banget dah lu candil!)

Hmm, ada keinginan untuk bisa mengenal komunitas punk secara langsung, pengen ngobrol bareng mereka, dan pengen mencicipi kehidupan seperti mereka (untuk yang ini kayaknya gak mungkin)hehehehe....

Anyway, ini sedikit opini gw tentang film 'Punk in Love' yang kalo dikasi skala 1 sampe 5, gw bakalan kasih angka 5, WAJIB TONTON!
Bukan ceritanya, tapi lebih ke maknanya kalo buat gw!:)

TWO THUMBS UP FOR THIS FILM!

p.s : ada manfaatnya juga tugas akhir PKB (Pengantar Kebudayaan Britania) semester kemaren kelompok gw ambil topik skinhead and punk!hihihi...


by : cynicaL's

0 comments: